Oleh : Bagas Adrian Nathaniel
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengukir sejarah dalam membangun fondasi Indonesia-sentris, dengan visi menjadikan pembangunan tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi merata ke seluruh pelosok nusantara.
Selama satu dekade, Presiden Jokowi telah mengarahkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan perekonomian yang lebih inklusif dan berimbang. Meskipun perjalanan ini penuh tantangan, hasil nyata dari kebijakan Indonesia-sentris mulai terlihat, baik dari data ekonomi, pembangunan infrastruktur, maupun investasi yang tersebar lebih luas.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), struktur perekonomian Indonesia mengalami pergeseran. Pada triwulan pertama tahun 2014, sebelum Presiden Jokowi menjabat, Pulau Jawa dan Sumatera menyumbang kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, masing-masing dengan persentase 58,52 persen dan 23,88 persen.
Sebaliknya, kontribusi dari wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, serta Bali dan Nusa Tenggara sangat kecil. Namun, menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi di triwulan pertama tahun 2024, meskipun kontribusi Jawa tetap yang terbesar, persentase kontribusi Sumatera menurun menjadi 21,85 persen, sementara Sulawesi, Bali, dan wilayah Maluku serta Papua mengalami peningkatan.
Peningkatan kontribusi dari wilayah luar Jawa ini sejalan dengan pertumbuhan nilai investasi yang juga menunjukkan tren positif. Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa pada triwulan pertama 2024, investasi luar Jawa mencapai Rp201 triliun, melampaui investasi di Jawa yang senilai Rp200,5 triliun.
Hal ini menjadi pertanda bahwa kawasan luar Jawa mulai menarik perhatian investor, terutama Sulawesi Tengah, yang mencatatkan investasi terbesar di sektor nikel.
Pembangunan infrastruktur yang masif selama satu dekade terakhir merupakan pendorong utama dalam pergeseran struktur perekonomian tersebut. Presiden Jokowi, dalam berbagai kesempatan, telah menekankan pentingnya infrastruktur untuk efisiensi biaya logistik dan konektivitas antarwilayah.
Ia berpendapat bahwa infrastruktur yang baik dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi baru, menciptakan daya saing yang lebih tinggi, dan mendorong potensi daerah untuk tumbuh.
Pemerintah telah menginisiasi 204 proyek dan 13 program dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Dari tahun 2016 hingga semester kedua 2023, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mencatat penyelesaian 190 PSN dengan total nilai investasi mencapai Rp1.514 triliun.
Sektor-sektor seperti jalan, bendungan, dan kereta api menjadi yang paling banyak dibangun. Meskipun demikian, mayoritas proyek masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, dengan 79 proyek di Jawa dan 40 di Sumatera, sementara Sulawesi, Bali, Kalimantan, dan Maluku serta Papua masing-masing mendapatkan porsi yang lebih kecil.
Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi tidak hanya terfokus di pusat-pusat ekonomi, tetapi juga menjangkau daerah terpencil untuk memastikan konektivitas yang merata.
Namun, tantangan seperti perubahan iklim dan polusi harus dihadapi dalam proses pembangunan. Para ahli, seperti Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, menyebutkan bahwa meskipun pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa telah meningkat, hal ini belum diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang setara di daerah tersebut.
Dari segi kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi di sektor pertambangan, khususnya di Sulawesi dan Maluku, berpotensi meningkatkan investasi. Wilayah-wilayah ini telah mencatat pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan Maluku Utara dan Sulawesi Tengah menjadi primadona bagi investor.
Namun, meskipun aliran investasi asing langsung (FDI) besar, pengurangan tingkat kemiskinan di daerah-daerah ini masih belum optimal. Data BPS menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan tingkat kemiskinan secara nasional, daerah penghasil nikel tersebut masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Sektor industri, meskipun menunjukkan pertumbuhan, masih di bawah harapan. Menurut Faisal, sektor industri hanya tumbuh sekitar 4 persen per tahun, menunjukkan gejala deindustrialisasi. Meskipun terdapat program pelatihan untuk mendukung tenaga kerja lokal, implementasinya belum optimal. Banyak proyek investasi justru lebih banyak menyerap tenaga kerja dari luar daerah, sehingga menciptakan kesenjangan antara investasi dan peningkatan kualitas SDM.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia-sentris yang lebih berkelanjutan, perlu ada sinergi antara pembangunan infrastruktur, investasi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Sinergi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mendistribusikan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
Capaian pemerintahan Presiden Jokowi selama satu dekade terakhir menunjukkan upaya yang serius dalam membangun fondasi Indonesia-sentris. Pembangunan infrastruktur dan penyebaran investasi di luar Jawa adalah bukti nyata dari upaya tersebut. Namun, agar Indonesia-sentris benar-benar tercapai, diperlukan kerja keras yang lebih terintegrasi, khususnya dalam menciptakan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu terus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap proyek infrastruktur dan investasi tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Momen ini menjadi ajakan bagi kita semua untuk melihat lebih dalam pada setiap pencapaian dan tantangan yang ada. Masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta perlu berkolaborasi lebih erat untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan bukan hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi mampu membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, Indonesia dapat melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik dan lebih merata bagi semua.
)* Penulis adalah Kontributor Kawiwara Pustaka
Leave a Reply