Oleh : Ricky Rinaldi
Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam membangun masa depan Indonesia melalui kebijakan yang bukan hanya menyentuh kebutuhan dasar, tetapi juga membuka peluang besar bagi pelaku ekonomi akar rumput. Salah satu kebijakan unggulan yang kini menjadi perhatian publik adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG)—sebuah terobosan yang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak, tetapi juga membawa angin segar bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya di bidang pertanian dan pangan lokal.
Melalui program ini, pemerintah menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dari kalangan anak-anak sekolah. Namun, dampaknya jauh lebih luas daripada sekadar angka. MBG dirancang sebagai ekosistem strategis yang mengintegrasikan berbagai sektor, termasuk UMKM pertanian, industri olahan makanan, serta teknologi digital untuk distribusi dan transparansi anggaran.
Sektor pertanian kini menjadi salah satu pemain kunci dalam pelaksanaan MBG. Bukan hanya karena mereka menyuplai bahan pokok makanan bergizi, tetapi juga karena mereka berperan aktif sebagai mitra lokal yang siap menjawab tantangan distribusi di berbagai daerah. Di sinilah potensi UMKM benar-benar diuji dan didorong untuk berkembang.
Dalam pemberitaan media sepanjang Juli 2025, banyak tokoh pemerintah memberikan pernyataan yang menunjukkan dukungan penuh terhadap MBG dan dampaknya bagi ekonomi lokal. Presiden RI, Prabowo Subianto menegaskan bahwa MBG bukan semata-mata program bantuan konsumtif, melainkan bagian integral dari visi besar Indonesia Emas 2045. Ia menyatakan bahwa MBG harus dilihat sebagai kebijakan yang menyentuh masa depan anak-anak sekaligus memperkuat struktur ekonomi nasional dari bawah.
Prabowo juga melihat MBG sebagai contoh nyata bagaimana negara hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat, memastikan bahwa setiap anak Indonesia tidak hanya kenyang, tetapi juga tumbuh sehat dan cerdas. Ia memandang kebijakan ini sebagai simbol kepemimpinan strategis yang berdampak jangka panjang, terutama dalam mengangkat UMKM lokal sebagai tulang punggung perekonomian desa.
Tak hanya dari sisi kepemimpinan nasional, dukungan juga datang dari aspek teknologi pemerintahan. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria menyampaikan bahwa digitalisasi menjadi elemen krusial dalam kesuksesan program MBG. Ia menjelaskan bahwa pengelolaan program yang menyasar puluhan juta anak tentu membutuhkan sistem berbasis data yang akurat, transparan, dan efisien.
Nezar memaparkan bahwa pemerintah telah menyiapkan sistem digital yang memungkinkan pengawasan langsung terhadap proses distribusi, kualitas makanan, serta keterlibatan UMKM lokal. Ia menyebut bahwa pendekatan digital akan meminimalkan risiko penyimpangan dan memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai ke tangan yang tepat, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan gizi anak.
Lebih jauh lagi, digitalisasi memungkinkan pemerintah mendeteksi titik-titik rawan distribusi atau potensi kendala logistik, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Dengan data real-time, pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan, melakukan intervensi cepat, dan melibatkan pelaku usaha setempat untuk solusi bersama. Di sinilah UMKM, khususnya di sektor pertanian, memegang peranan sentral—menyediakan bahan makanan segar, lokal, dan sesuai dengan selera budaya setempat.
Dukungan dari berbagai kalangan juga semakin menguatkan legitimasi program ini. Pada akhir Juli 2025, media nasional mencatat dukungan dari UNICEF terhadap program MBG. Organisasi internasional itu melihat MBG sebagai langkah nyata pemerintah Indonesia dalam memperkuat jaring pengaman sosial, meningkatkan kualitas hidup anak-anak, serta menekan angka stunting secara signifikan. Mereka menilai keterlibatan komunitas lokal, termasuk petani kecil dan produsen pangan daerah, sebagai praktik baik yang layak dijadikan contoh global.
Selain manfaat langsung bagi anak-anak, MBG juga menjadi pendorong ekonomi mikro di banyak daerah. Ketika pemerintah menetapkan standar gizi untuk setiap menu makanan, UMKM lokal—mulai dari petani sayur, peternak ayam, pengrajin tahu-tempe, hingga pengolah makanan ringan bergizi—ikut terangkat dalam sistem pengadaan bahan pangan. Banyak dari mereka kini menjadi bagian dari rantai pasok tetap yang mendapat pelatihan, sertifikasi, hingga akses ke pembiayaan mikro.
Pemerintah daerah pun menunjukkan antusiasme serupa. Sejumlah bupati dan walikota mulai menyusun strategi pelibatan UMKM lokal dalam pelaksanaan MBG. Mereka menyadari bahwa jika dikelola dengan baik, program ini bukan hanya menyehatkan generasi muda, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, menghidupkan pasar rakyat, dan meningkatkan daya beli masyarakat desa.
Dalam jangka menengah, MBG diproyeksikan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan. Ketika konsumsi bahan pangan naik secara rutin dan terjadwal, petani dan pelaku UMKM akan memiliki kepastian pasar. Ini berpotensi mengurangi praktik tengkulak dan meningkatkan nilai jual produk lokal, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian di tengah serbuan produk impor.
Tak dapat dipungkiri, pelaksanaan program sebesar MBG tentu menghadapi tantangan. Mulai dari kapasitas produksi UMKM yang masih terbatas, tantangan logistik di wilayah terpencil, hingga potensi birokrasi berbelit. Namun, dengan pendekatan kolaboratif dan dukungan teknologi digital, pemerintah menunjukkan bahwa tantangan itu bisa diubah menjadi peluang.
Program MBG bukan sekadar “memberi makan”, tetapi merupakan investasi sosial dan ekonomi jangka panjang. Ia menjadi refleksi dari komitmen negara yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan makro, tetapi juga pada pembangunan manusia sejak dini.
Melalui program ini, Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa kebijakan gizi bisa menjadi motor penggerak ekonomi rakyat. Dan yang terpenting, anak-anak Indonesia kini tidak hanya punya harapan akan masa depan yang cerah, tetapi juga sarapan yang sehat dan penuh makna setiap harinya.
*)Pengamat Isu Strategis
Leave a Reply