Indonesia-Satu.com

Independen Terpercaya

RUU Penyiaran Jadi Upaya Mitigasi Dampak Konten Negatif di Dunia Maya

Oleh : Antoni Utomo )*

Perkembangan teknologi digital telah melahirkan banyak kemajuan di berbagai sektor, namun di sisi lain juga membawa tantangan serius dalam ranah penyiaran dan informasi publik. Dunia maya yang semakin terbuka dan bebas telah menjadi lahan subur bagi penyebaran konten negatif, baik yang mengandung unsur kekerasan, hoaks, ujaran kebencian, hingga pornografi. Dalam konteks inilah, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi instrumen penting yang diharapkan mampu memberikan kerangka hukum yang lebih adaptif terhadap era digital, sekaligus menjadi upaya mitigasi terhadap dampak destruktif dari konten negatif yang tersebar luas di ruang digital.

RUU Penyiaran saat ini tengah memasuki tahapan pembahasan di DPR RI, dan menjadi salah satu topik hangat dalam diskursus publik. Berbeda dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjadi payung hukum selama lebih dari dua dekade, RUU terbaru ini mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan lanskap media yang tidak lagi terbatas pada televisi dan radio, tetapi juga mencakup media daring dan layanan Over The Top (OTT) seperti YouTube, Netflix, podcast, dan platform media sosial lainnya. Penyesuaian ini menjadi sangat relevan mengingat besarnya penetrasi internet di Indonesia serta perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses informasi dan hiburan.

Anggota Komisi I DPR Andina Thresia Narang menegaskan pentingnya percepatan Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran demi menjawab tantangan penyiaran digital yang semakin kompleks.

Dalam draf RUU yang beredar, terlihat adanya upaya serius untuk memperkuat pengawasan terhadap konten penyiaran di dunia maya. Salah satu langkah penting adalah keinginan untuk memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam mengawasi konten digital yang disiarkan melalui platform daring. KPI tidak hanya akan berperan sebagai regulator dalam penyiaran konvensional, tetapi juga akan mengawasi siaran konten yang dipublikasikan secara live streaming maupun video on demand. Hal ini tentu memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, penguatan peran KPI dinilai penting untuk memastikan bahwa setiap konten yang disiarkan tidak melanggar norma kesusilaan, hukum, dan etika sosial. Namun di sisi lain, sebagian pihak menilai bahwa pengawasan berlebihan bisa berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan menghambat kreativitas konten kreator.

Tantangan utama dari dunia maya saat ini adalah kecepatan penyebaran informasi yang tidak diiringi dengan validasi yang memadai. Banyak kasus penyebaran hoaks dan disinformasi yang akhirnya memicu keresahan masyarakat, bahkan konflik horizontal. Ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan literasi digital yang baik, mereka menjadi rentan terhadap manipulasi informasi. Oleh karena itu, mitigasi terhadap konten negatif tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum dan pengawasan, tetapi juga harus dibarengi dengan edukasi publik secara masif. RUU Penyiaran setidaknya dapat menjadi pintu masuk untuk membangun ekosistem digital yang lebih sehat, dengan memberikan insentif bagi platform penyiaran yang mempromosikan konten edukatif dan konstruktif, serta mengenakan sanksi bagi mereka yang melanggar etika penyiaran.

RUU ini juga mengatur soal pelarangan terhadap penyiaran konten yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, kekerasan, radikalisme, hingga konten yang mendiskreditkan kelompok tertentu. Tujuannya tentu untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah konflik di tengah masyarakat yang plural. Di era digital yang sangat terbuka, konten-konten bernuansa provokatif sangat mudah viral dan memperkeruh suasana. Misalnya, konten yang menggiring opini publik secara sepihak dalam isu-isu sensitif seperti agama, ras, atau politik, kerap dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, peran negara untuk hadir dan melakukan pengawasan merupakan bagian dari tanggung jawab konstitusional dalam menjaga keamanan informasi.

Upaya mitigasi konten negatif di dunia maya memang memerlukan pendekatan komprehensif, tidak hanya melalui regulasi formal, tetapi juga kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, pelaku industri media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta masyarakat pengguna internet harus dilibatkan secara aktif. Regulasi yang hadir juga harus adaptif, terbuka terhadap masukan publik, serta menjunjung tinggi prinsip keadilan dan proporsionalitas. Keberadaan RUU Penyiaran hendaknya bukan sekadar instrumen pengendali, tetapi menjadi pemicu lahirnya etika baru dalam penyiaran digital yang menghormati hak asasi, nilai-nilai kebangsaan, dan tanggung jawab sosial.

Dalam jangka panjang, RUU ini juga dapat menjadi pondasi untuk menciptakan industri konten digital yang lebih berkelanjutan dan profesional. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan para pelaku konten dapat bekerja dalam kerangka yang adil dan transparan. Industri penyiaran digital tidak lagi hanya mengejar viralitas atau keuntungan semata, tetapi juga bertanggung jawab terhadap kualitas informasi yang disampaikan kepada publik. Apalagi, generasi muda Indonesia sebagai pengguna internet terbanyak harus diberikan ruang untuk tumbuh dalam ekosistem digital yang sehat dan membangun.

RUU Penyiaran adalah refleksi dari keinginan negara untuk hadir dalam menyikapi realitas baru yang ditawarkan dunia digital. Namun niat baik ini harus diiringi dengan ketelitian dalam merumuskan setiap pasal agar tidak mengorbankan kebebasan sipil dan prinsip keterbukaan informasi. Dengan dialog yang terbuka, partisipatif, dan transparan, Indonesia dapat melahirkan regulasi penyiaran yang tidak hanya mampu meredam dampak negatif konten dunia maya, tetapi juga mendorong kemajuan peradaban informasi yang lebih bermartabat.

)* Pengamat Kebijakan Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *