Oleh: Bagus Pratama
Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, arah kebijakan energi nasional menunjukkan geliat nyata menuju kemandirian. Jika pada awal masa kepemimpinan pasangan ini banyak pihak menilai target swasembada energi masih terlalu ambisius, kini indikator capaian di lapangan menunjukkan bahwa langkah menuju energi mandiri telah berjalan di jalur yang tepat. Pemerintah tampak serius menata kembali peta energi nasional dengan menyeimbangkan produksi migas, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), serta penguatan regulasi dan investasi di tingkat daerah.
Narasi swasembada energi menjadi semakin relevan ketika dikaitkan dengan refleksi satu tahun pertama pemerintahan. Dalam berbagai forum, Presiden Prabowo menegaskan bahwa kemandirian energi merupakan bagian penting dari strategi kemandirian ekonomi nasional. Pemerintah, katanya dalam sejumlah kesempatan, tidak ingin lagi Indonesia bergantung pada fluktuasi harga energi global. Langkah nyata itu kini mulai terlihat dalam kebijakan di lapangan.
Salah satu pencapaian signifikan yang menjadi sorotan adalah kenaikan lifting minyak nasional. Berdasarkan data publik, rata-rata produksi minyak Indonesia yang sebelumnya di kisaran 430 ribu barel per hari kini hampir mencapai 600 ribu barel. Pengamat energi menilai capaian ini merupakan hasil dari efisiensi operasi dan perbaikan tata kelola hulu migas. Mereka menekankan bahwa peningkatan produksi bukan sekadar prestasi teknis, tetapi simbol keberhasilan pemerintah mengoptimalkan aset nasional yang selama ini kurang tergarap.
Menurut kalangan analis, langkah ini menandai titik balik menuju energy resilience atau ketahanan energi yang kuat di bawah kepemimpinan Prabowo–Gibran.
Dukungan terhadap arah kebijakan tersebut juga datang dari kalangan akademisi. Dua guru besar dari Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) menilai bahwa kebijakan pemerintah menuju swasembada energi sudah berada di jalur yang benar. Mereka menilai penerapan mandatori etanol 10 persen (E10) dalam bahan bakar merupakan langkah strategis yang bukan hanya mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga memberi efek ekonomi luas bagi sektor pertanian dan industri bioenergi. Mereka berpendapat, keterlibatan masyarakat melalui program “sumur minyak rakyat” dapat menjadi model pemberdayaan ekonomi lokal yang inklusif, selama tata kelolanya memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasi.
Dalam konteks ini, satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran tampak menandai masa transisi dari ketergantungan menuju kemandirian. Pemerintah tidak hanya memperkuat kapasitas produksi energi konvensional, tetapi juga membuka jalan bagi percepatan energi terbarukan. Program pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pembangkit hidro skala kecil, dan proyek energi biomassa menjadi bukti keseriusan pemerintah mendorong diversifikasi energi nasional.
Para pengamat mencatat, jika arah kebijakan ini terus berlanjut, maka dalam tiga hingga lima tahun mendatang Indonesia berpotensi mencapai kemandirian energi sebagian, terutama dalam pasokan listrik dan biofuel domestik.
Dari sisi ekonomi, manfaat swasembada energi mulai terasa di berbagai sektor. Pertama, dalam konteks penghematan devisa negara. Dengan menekan impor BBM dan LPG, pemerintah dapat mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan sekaligus mengalihkan dana subsidi energi ke sektor produktif seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan. Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa setiap pengurangan impor energi sebesar 10 persen dapat menghemat hingga miliaran dolar per tahun.
Kedua, dari pemberdayaan ekonomi daerah. Kebijakan E10, misalnya, mendorong keterlibatan petani tebu, jagung, dan singkong sebagai penyedia bahan baku etanol. Para pengamat menyebut langkah ini sebagai “strategi ekonomi ganda”, karena selain mendukung kemandirian energi, juga menciptakan nilai tambah bagi sektor pertanian. Dengan rantai nilai yang menghubungkan petani, koperasi, dan industri bioenergi, kebijakan ini menjadi contoh nyata bagaimana program energi dapat menciptakan peluang ekonomi di tingkat lokal.
Ketiga, dari sisi penciptaan lapangan kerja. Investasi di sektor EBT—baik melalui pembangunan PLTS, PLTA mini, maupun eksplorasi migas baru—telah membuka lapangan kerja baru di sektor teknik, konstruksi, dan jasa. Proyek-proyek energi terbarukan yang dikembangkan pemerintah diperkirakan menyerap ribuan tenaga kerja lokal di berbagai daerah. Dalam jangka menengah, efek multiplier dari investasi energi diyakini mampu memperkuat industri dalam negeri, mulai dari pembuatan komponen pembangkit hingga sistem penyimpanan energi.
Swasembada energi, dalam pandangan para ekonom, bukan hanya soal ketersediaan energi nasional, tetapi juga fondasi bagi kemandirian ekonomi Indonesia. Dengan kemampuan memproduksi energi sendiri, negara memiliki kedaulatan fiskal yang lebih kuat dan kemampuan untuk menentukan arah pembangunan tanpa tekanan eksternal.
Inilah mengapa capaian di tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran patut diapresiasi sebagai pijakan menuju masa depan energi yang lebih berdaulat, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.
Menjelang satu tahun kepemimpinan Pragib, publik melihat bahwa pembangunan energi kini bukan sekadar proyek teknis, tetapi bagian dari visi besar untuk menjadikan Indonesia berdikari secara ekonomi. Jika konsistensi kebijakan dan pengawasan publik tetap terjaga, maka satu dekade ke depan bukan tidak mungkin Indonesia benar-benar akan menulis sejarah sebagai negara yang mandiri di bidang energ dan pada akhirnya, di bidang ekonomi nasional.
*) Analis Ekonomi Makro
Leave a Reply