Oleh: Rizky Ardipuro Syahputra )*
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan nasional. Serangkaian kebijakan dan regulasi dirumuskan untuk mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang tidak hanya mengancam daya beli masyarakat tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sosial secara keseluruhan. Fokus utama pemerintah tidak lagi sekadar merespons dampak PHK, melainkan mengantisipasi dan menekan potensi terjadinya pemutusan kerja sejak dini melalui pendekatan yang lebih sistematis dan kolaboratif.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi dan Ketenagakerjaan Nasional, Iman Setiawan, mengatakan langkah-langkah konkret pemerintah dalam membentuk kebijakan pencegahan PHK mencerminkan keberpihakan nyata terhadap masyarakat. Menurutnya, kehadiran pemerintah tidak lagi sebatas normatif, melainkan menjadi aktor aktif dalam melindungi pekerja dari gejolak ekonomi yang bisa berdampak langsung pada keberlangsungan kerja.
Salah satu bentuk intervensi struktural tersebut adalah rencana peluncuran Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) yang digagas oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Satgas ini merupakan respons atas aspirasi kalangan buruh yang disampaikan langsung dalam dialog dengan Presiden. Presiden Prabowo Subianto menyambut baik inisiatif ini dan menekankan pentingnya sinergi lintas sektor sebagai prasyarat keberhasilan upaya pencegahan PHK.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menjelaskan bahwa desain Satgas PHK dibuat dari hulu ke hilir, yang berarti mencakup deteksi dini, intervensi kebijakan, hingga penanganan pasca PHK. Satgas ini dirancang untuk terdiri dari berbagai unsur seperti perwakilan pemerintah pusat dan daerah, asosiasi pengusaha, serikat buruh, akademisi, serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Tujuannya adalah agar Satgas mampu menjangkau persoalan di lapangan secara cepat dan menyeluruh.
Kepala Departemen Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Dini Kusumawardhani, mengatakan keberadaan Satgas PHK dapat menjadi jembatan antara pelaku usaha dan pekerja dalam menyelesaikan konflik ketenagakerjaan secara lebih konstruktif. Ia menambahkan bahwa ruang dialog yang difasilitasi Satgas akan meminimalisasi eskalasi konflik dan membuka jalan kompromi yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Selain pembentukan Satgas, pemerintah juga mengaktifkan kembali dan memperluas cakupan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Program ini tidak hanya memberikan bantuan uang tunai kepada korban PHK, tetapi juga mencakup pelatihan keterampilan dan akses informasi pasar kerja. Hingga pertengahan 2025, lebih dari 120.000 pekerja telah menerima manfaat dari program ini.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo, menilai bahwa JKP bukan hanya sekadar jaring pengaman finansial, tetapi juga wahana transisi pekerja menuju keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan pasar. Dengan begitu, program ini menjadi pilar penting dalam menekan dampak jangka panjang dari PHK terhadap perekonomian keluarga.
Untuk memperkuat perlindungan pekerja, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 yang mewajibkan perusahaan membayar 60% gaji selama enam bulan kepada pekerja yang terkena PHK. Aturan ini memberikan ruang adaptasi finansial bagi korban PHK sembari mencari pekerjaan baru, sekaligus mendorong perusahaan agar lebih hati-hati dalam mengambil keputusan pemutusan kerja. Kewajiban kompensasi gaji tersebut mencerminkan pendekatan berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya manusia.
Langkah lainnya yang diambil pemerintah adalah pemberian insentif kepada sektor industri padat karya dan UMKM agar tetap mampu mempertahankan tenaga kerja di tengah tekanan biaya produksi. Insentif tersebut mencakup subsidi upah, relaksasi pajak, dan dukungan pembiayaan ringan. Kebijakan ini dirancang agar sektor riil tetap berjalan tanpa harus merumahkan karyawan.
Pemerintah juga memberikan perhatian kepada aspek inklusivitas dalam proses perekrutan. Kemnaker menerbitkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/V/2025 yang melarang perusahaan mencantumkan batas usia dalam lowongan kerja. Tujuannya adalah membuka akses seluas-luasnya bagi korban PHK berusia di atas 30 tahun untuk kembali memperoleh pekerjaan tanpa diskriminasi usia. Larangan batas usia merupakan bentuk nyata keberpihakan terhadap kelompok pekerja usia menengah yang kerap terpinggirkan dari pasar kerja.
Kebijakan-kebijakan tersebut mendapat sambutan positif dari berbagai elemen masyarakat. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan bahwa pembentukan Satgas PHK merupakan langkah konkret dan menunjukkan keberpihakan negara terhadap rakyat pekerja. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah melampaui sekadar retorika dan mulai mengambil tindakan nyata di lapangan.
Selain pendekatan teknokratis, strategi pemerintah dalam mencegah PHK juga ditopang oleh semangat kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah memfasilitasi forum tripartit antara buruh, pengusaha, dan negara untuk merumuskan solusi yang adil dan berimbang dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan. Langkah-langkah tersebut tidak hanya penting dari sisi perlindungan tenaga kerja, tetapi juga berfungsi menjaga stabilitas sosial dan mendorong keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional.
Namun demikian, efektivitas dari seluruh kebijakan ini akan sangat bergantung pada pelaksanaan yang konsisten, pengawasan yang transparan, serta keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk saling bersinergi, dan masyarakat sipil perlu terus mengawal implementasinya di lapangan. Tindakan ini menjadi bukti bahwa negara hadir bukan hanya sebagai pembuat aturan, tetapi juga sebagai pelindung yang aktif dan adaptif terhadap kebutuhan warganya.
)* Penulis merupakan Pengamat Ekonomi
Leave a Reply