Oleh: Gani Puteri Nasution*
Upaya pemerintah dalam menata ulang lebih dari 45 ribu sumur minyak rakyat di berbagai daerah merupakan langkah strategis dan bersejarah dalam mewujudkan kemandirian serta swasembada energi nasional. Langkah ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi simbol keberpihakan negara terhadap rakyat kecil yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai energi nasional. Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah memastikan seluruh aktivitas penambangan rakyat mendapatkan landasan hukum yang jelas, aman, dan berkelanjutan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto agar energi rakyat menjadi bagian dari pilar utama pembangunan nasional. Dengan legalisasi dan penataan ulang, masyarakat kini dapat bekerja dengan rasa aman, tidak lagi dihantui ketakutan akibat kegiatan ilegal, dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Langkah ini membuktikan bahwa negara hadir bukan untuk mematikan inisiatif rakyat, melainkan menertibkan dan memberdayakan agar produktivitas meningkat serta kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan langsung di daerah penghasil minyak.
Sebanyak 45.095 sumur minyak rakyat yang tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur kini resmi masuk dalam sistem pengelolaan nasional. Pemerintah memprioritaskan pengelolaan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mekanisme ini memastikan bahwa hasil ekonomi tidak lagi terserap ke kelompok tertentu, melainkan dinikmati langsung oleh masyarakat lokal. Kepala daerah pun dilibatkan dalam proses rekomendasi agar pengelolaan dilakukan oleh warga setempat yang memahami karakteristik wilayahnya.
Direktur Jenderal Migas Laode Sulaeman menjelaskan, seluruh kegiatan eksplorasi dan produksi akan didampingi oleh BUMN energi seperti Pertamina serta perusahaan nasional seperti Medco. Pendampingan ini bertujuan memastikan bahwa kegiatan penambangan berjalan sesuai standar keselamatan kerja dan prinsip tata kelola yang baik. Dalam empat tahun masa penanganan, pemerintah akan menilai kelayakan setiap sumur agar produktivitas energi tetap terjaga, sementara risiko kecelakaan dan pencemaran lingkungan dapat diminimalkan.
Respons masyarakat terhadap kebijakan ini sangat positif. Di berbagai daerah, para penambang minyak rakyat menyambut dengan penuh harapan. Mereka yang sebelumnya beroperasi secara sembunyi-sembunyi kini dapat bekerja dengan rasa aman karena diakui secara hukum. Keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil menjadi bukti nyata bahwa pembangunan energi nasional tidak hanya berorientasi pada korporasi besar, melainkan juga pada kekuatan rakyat sebagai fondasi ekonomi bangsa.
Gubernur Sumatra Selatan Herman Deru menilai langkah ini mencerminkan keberpihakan negara kepada masyarakat bawah. Ia menegaskan bahwa penataan sumur rakyat membuka ruang keadilan sosial di sektor energi, di mana rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek pembangunan. Pandangan tersebut selaras dengan visi pemerintahan Prabowo–Gibran yang menempatkan energi sebagai instrumen kedaulatan nasional.
Selain penataan sumur rakyat aktif, pemerintah juga memperhatikan 1.400 sumur tua yang dibor sebelum tahun 1970. Sumur-sumur ini masih memiliki potensi menghasilkan sekitar 1.600 barel per hari. Optimalisasi sumur tua akan mendukung target besar mencapai produksi satu juta barel per hari pada 2029. Berdasarkan laporan SKK Migas, produksi minyak nasional per September 2025 telah mencapai 619 ribu barel per hari, mendekati target APBN 2025. Peningkatan ini menunjukkan adanya perbaikan tata kelola yang nyata di sektor energi.
Kebijakan tata ulang ini tidak hanya berdampak pada peningkatan lifting minyak, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Dengan keterlibatan UMKM dan koperasi, perputaran ekonomi daerah meningkat signifikan. Setiap sumur yang dikelola dengan baik menjadi sumber penghidupan bagi ratusan keluarga. Model pemberdayaan ini mengubah paradigma lama: dari rakyat sebagai penonton menjadi pelaku utama dalam menjaga ketahanan energi bangsa.
Pakar energi dari Gerilya Institute, Subhkan Agung Sulistio, menilai kebijakan ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo yang menekankan kedaulatan ekonomi berbasis sumber daya nasional. Ia menyebut legalisasi dan tata kelola sumur rakyat sebagai bentuk inovasi kebijakan yang berpihak kepada masyarakat tanpa mengorbankan efisiensi produksi. Dengan memanfaatkan teknologi baru seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Chemical EOR (CEOR), pemerintah mendorong efisiensi dan keberlanjutan sektor migas tanpa mengabaikan prinsip keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Transformasi sektor energi nasional ini juga tak lepas dari peran Pertamina sebagai tulang punggung ketahanan energi. Di bawah kepemimpinan Direktur Utama Simon Aloysius Mantiri, Pertamina menjalankan strategi Dual Growth Strategy untuk meningkatkan produksi hulu migas sekaligus memperluas pengembangan energi rendah karbon. Pertamina kini tidak hanya berorientasi pada bisnis migas tradisional, tetapi juga pada energi terbarukan seperti geothermal, biofuel, dan green fuel. Dengan langkah ini, Pertamina berupaya memastikan ketersediaan energi nasional tetap terjaga di tengah tantangan global serta transisi menuju energi bersih.
Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute menilai transformasi yang dilakukan Pertamina merupakan bukti nyata kemampuan adaptasi perusahaan terhadap dinamika industri global. Ia menyebut Pertamina berhasil menyeimbangkan fokus antara migas dan energi terbarukan, sambil tetap menjaga kesehatan finansial perusahaan. Dengan peningkatan produksi migas yang mencapai lebih dari satu juta barel setara minyak per hari, Pertamina telah menunjukkan peran vitalnya sebagai motor utama swasembada energi nasional.
Dari sisi akademik, Adib Miftahul dari Universitas Syekh Yusuf menilai kebijakan tata ulang sumur rakyat mencerminkan filosofi “reset ekonomi” ala Prabowo Subianto, yakni mengembalikan pengelolaan sumber daya nasional ke tangan rakyat. Menurutnya, hal ini bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi gerakan ideologis untuk memastikan sumber daya alam benar-benar menjadi milik bangsa.
Dengan langkah penataan ulang ini, pemerintah sedang membangun pondasi baru dalam sektor energi lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Setiap tetes minyak dari sumur rakyat bukan hanya simbol produksi, tetapi juga bukti kolaborasi antara negara dan rakyat dalam mencapai kedaulatan energi. Ke depan, kebijakan ini diharapkan mampu menjadi model tata kelola energi rakyat yang efektif, serta menjadi tonggak penting menuju swasembada energi nasional dan cita-cita Indonesia Emas 2045.
*Penulis merupakan analis kebijakan energi












Leave a Reply