Oleh : Ricky Rinaldi )*
Kabar gembira datang untuk para dosen di seluruh Indonesia! Setelah penantian panjang dan banyak tanya yang muncul, akhirnya pemerintah resmi mencairkan Tunjangan Kinerja (Tukin) bagi para dosen Aparatur Sipil Negara (ASN). Ini bukan hanya soal uang semata, tapi juga bentuk penghargaan negara terhadap jasa besar para pengajar bangsa.
Dosen adalah salah satu ujung tombak pendidikan tinggi di Indonesia. Mereka bukan hanya mengajar di kelas, tapi juga meneliti, menulis, membimbing mahasiswa, bahkan terjun ke masyarakat untuk mengabdi. Tapi sayangnya, selama ini kesejahteraan mereka sering jadi pertanyaan. Banyak dosen yang bekerja keras siang malam, namun belum sepenuhnya mendapat kompensasi yang setimpal.
Melalui kebijakan terbaru yang diteken Presiden Prabowo Subianto, harapan para dosen mulai menemui titik terang. Pemerintah meresmikan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025, yang jadi dasar hukum pencairan tukin untuk para dosen dan tenaga pengajar di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa tukin ini akan mulai cair pada Juli 2025 untuk sekitar 31.066 dosen ASN. Pemberiannya disesuaikan dengan capaian kinerja sejak Januari hingga Juni 2025.
Langkah ini pun disambut positif oleh banyak pihak, termasuk dari dalam pemerintahan. Plt. Sekjen Kemendikti Saintek, Prof. Togar M. Simatupang, menjelaskan bahwa pemerintah sudah mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp2,5 triliun untuk merealisasikan tukin ini.
Bukan cuma pejabat, para dosen sendiri juga menyambut kabar ini dengan antusias. Koordinator Nasional Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek (ADAKSI), Anggun Gunawan, menyatakan bahwa tukin ini bukan sekadar bonus, melainkan hak yang sudah lama dijanjikan. Pihaknya sangat menghargai komitmen pemerintah. Hal ini akan meningkatkan semangat dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi.
Tridharma itu adalah tiga tugas utama dosen: mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Ketiganya membutuhkan tenaga, waktu, dan dedikasi luar biasa. Maka wajar jika negara akhirnya turun tangan untuk memberikan dukungan lebih konkret melalui kebijakan ini.
Pencairan tukin bukan hanya soal angka, tapi juga soal pengakuan. Selama ini banyak dosen yang mengabdi tanpa pamrih, bahkan harus mengeluarkan biaya sendiri untuk penelitian atau mengikuti seminar. Dengan adanya tukin, beban itu sedikit demi sedikit bisa berkurang. Dosen bisa lebih fokus pada kualitas pengajaran dan pengembangan ilmu.
Bukan hanya itu, tukin juga diharapkan bisa mendorong peningkatan kinerja. Karena diberikan berdasarkan capaian kerja, sistem ini membuat dosen makin termotivasi untuk menunjukkan performa terbaiknya. Ini akan berdampak langsung pada mahasiswa, yang akan mendapat pengajaran yang lebih berkualitas, serta penelitian yang lebih inovatif.
Namun tentu, pencairan tukin ini juga harus diikuti dengan sistem yang rapi. Pemerintah dan kampus perlu memastikan tidak ada birokrasi berbelit yang justru mempersulit prosesnya. Dosen harus didampingi, bukan dibebani, dengan pelaporan kinerja yang transparan dan efisien.
Dosen yang lebih sejahtera akan lebih semangat membimbing mahasiswa, melakukan riset yang bermanfaat, serta membuat inovasi yang bisa membantu kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari teknologi pangan, energi terbarukan, hingga solusi sosial—semuanya bisa lahir dari kampus.
Tentu masih ada tantangan yang harus diselesaikan. Misalnya, belum semua perguruan tinggi punya sistem penilaian kinerja yang ideal. Atau soal kesenjangan antara dosen di pusat kota dan daerah. Tapi langkah ini sudah sangat penting. Ini sinyal kuat bahwa pemerintah tidak tinggal diam, dan benar-benar ingin memperbaiki kondisi pendidikan dari dalam.
Langkah ini jadi sinyal penting bagi generasi muda yang sedang menimbang-nimbang untuk meniti karier di dunia akademik. Dengan adanya perhatian pemerintah seperti pencairan tukin ini, dunia dosen tak lagi dipandang sebagai profesi “idealistis tapi miskin”. Justru sebaliknya, kini menjadi dosen bisa punya prospek karier yang menjanjikan secara finansial maupun prestise, asalkan dijalani dengan integritas dan dedikasi tinggi.
Ke depan, harapannya tukin tidak berhenti di pencairan awal saja. Perlu ada keberlanjutan, evaluasi rutin, dan penyempurnaan sistem penilaian kinerja agar kebijakan ini benar-benar mendorong perubahan positif. Pendidikan berkualitas dimulai dari tenaga pengajar yang berdaya. Maka, jika negara terus hadir dan mendukung mereka, kita bisa optimis bahwa masa depan pendidikan Indonesia akan semakin cerah.
Pencairan tukin ini juga memberi harapan baru bagi para mahasiswa. Dengan dosen yang lebih sejahtera dan bersemangat, kualitas pendidikan akan semakin meningkat. Ini akan berdampak positif pada perkembangan intelektual dan kemampuan para mahasiswa yang nantinya akan menjadi pemimpin masa depan bangsa. Dengan adanya pengakuan dan insentif yang lebih baik, dosen akan lebih maksimal dalam memberikan yang terbaik bagi generasi penerus bangsa.
Seiring dengan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, keberlanjutan kebijakan ini perlu didorong. Agar para dosen, yang memiliki peran vital dalam mencerdaskan bangsa, tidak hanya dihargai dengan kata-kata tetapi juga dengan kebijakan yang konkret dan berkelanjutan. Kita harus optimis bahwa peningkatan kesejahteraan tenaga pengajar ini akan menciptakan siklus yang positif, di mana pendidikan Indonesia akan semakin berkelas dan dapat bersaing di tingkat global.
)* Pengamat Isu-Isu Strategis
Leave a Reply