Jaga Persatuan Pasca Lebaran, Penolakan UU TNI Wajib Lewat Jalur Hukum

*oleh: Amrul Gani

Pasca perayaan Idulfitri, suasana persatuan dan kebersamaan harus tetap terjaga di tengah masyarakat. Semangat rekonsiliasi dan harmoni yang terbentuk selama momen Lebaran hendaknya dijadikan momentum untuk menjaga stabilitas sosial, terutama dalam menghadapi dinamika politik dan hukum di Tanah Air. Salah satu isu yang tengah menjadi perhatian publik adalah revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang telah memicu pro dan kontra di berbagai kalangan. Namun, dalam negara demokratis, segala bentuk keberatan terhadap suatu kebijakan harus disampaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku, bukan dengan tindakan anarkis yang dapat merusak tatanan sosial.

Eksponen Gerakan Mahasiswa Universitas Indonesia, Urai Zulhendri, menegaskan bahwa penolakan terhadap UU TNI yang telah disahkan di DPR seharusnya dilakukan melalui jalur hukum yang telah disediakan. Menurutnya, kritik terhadap kebijakan negara adalah bagian dari demokrasi, tetapi harus disampaikan dengan cara-cara yang beradab, tidak melanggar aturan, serta menghindari tindakan destruktif. Demokrasi yang sehat bukan hanya memberikan ruang bagi perbedaan pendapat, tetapi juga mengharuskan semua pihak untuk menghormati aturan hukum dalam menyalurkan aspirasinya.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, masyarakat Indonesia harus memastikan bahwa setiap perdebatan kebijakan tetap berada dalam koridor hukum dan etika. Urai mendorong seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan aktivis, untuk mengedepankan perdebatan substantif serta menjaga mekanisme check and balance dalam proses legislasi. Dalam pandangannya, gerakan mahasiswa yang sejati adalah mereka yang mengutamakan integritas intelektual, argumentasi berbasis data, serta moral yang luhur, bukan justru memperkeruh situasi dengan aksi kekerasan.

Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, menegaskan bahwa revisi tersebut tidak bertujuan untuk menghidupkan kembali peran sosial-politik TNI seperti di masa lalu. Panglima TNI sendiri telah menyatakan komitmennya untuk menjaga supremasi sipil dan memastikan bahwa revisi UU TNI tidak akan menggerus prinsip demokrasi.

Wakil Ketua Panitia Kerja Revisi UU TNI, Dave Laksono, juga menegaskan bahwa perubahan dalam revisi tersebut justru bertujuan untuk melimitasi peran TNI agar tetap fokus pada tugas pokoknya sebagai alat pertahanan negara.

Dalam menanggapi berbagai pro dan kontra ini, masyarakat harus bersikap jernih dan rasional. Perdebatan kebijakan harus dilakukan secara akademis dan berbasis pada fakta, bukan sekadar sentimen atau narasi yang belum terverifikasi. Momen pasca Lebaran yang identik dengan suasana damai harus dijadikan landasan untuk membangun diskusi yang produktif dan konstruktif, bukan sebagai ajang untuk memperuncing konflik.

Aksi-aksi yang bersifat anarkis, seperti pengrusakan fasilitas umum, pengadangan jalan, atau provokasi terhadap aparat keamanan, hanya akan merusak kredibilitas perjuangan dan mengaburkan substansi dari kritik yang disampaikan. Sebagai bangsa yang beradab, Indonesia harus menunjukkan bahwa demokrasi tidak identik dengan kekacauan, melainkan dengan kedewasaan dalam menyampaikan aspirasi. Oleh karena itu, setiap perbedaan pandangan harus disalurkan melalui jalur yang sesuai, seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi atau melalui perwakilan rakyat di parlemen.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto juga telah menyampaikan bahwa institusinya tetap berkomitmen untuk menjaga supremasi sipil dalam sistem demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa TNI pun menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum yang menjadi pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kekhawatiran mengenai kembalinya dwifungsi militer semestinya dapat dikaji secara lebih objektif dan proporsional.

Sebagai negara demokratis, Indonesia memiliki berbagai mekanisme hukum yang dapat digunakan untuk mengoreksi atau menolak kebijakan yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip reformasi. Oleh karena itu, alih-alih melakukan aksi-aksi yang berpotensi menimbulkan instabilitas sosial, lebih bijak jika setiap elemen masyarakat menyalurkan aspirasinya melalui jalur konstitusional. Gerakan mahasiswa sebagai motor intelektual bangsa juga diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan dengan argumentasi yang berbasis pada data, bukan provokasi yang dapat memperkeruh suasana.

Momentum Lebaran yang baru saja berlalu seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak untuk kembali mengutamakan semangat persatuan dan kedamaian dalam menyikapi dinamika politik dan kebijakan negara. Perbedaan pandangan adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi, tetapi harus dikelola dengan cara yang bermartabat dan dalam koridor hukum yang berlaku. Dengan demikian, stabilitas nasional tetap terjaga, dan setiap kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.

Dengan semangat kebersamaan pasca Lebaran, seluruh elemen bangsa diharapkan dapat menjaga suasana kondusif dalam menghadapi berbagai dinamika politik yang ada. Ketidaksetujuan terhadap suatu kebijakan adalah hal yang lumrah, tetapi harus disampaikan dengan cara yang benar dan sesuai aturan. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika setiap warga negara memiliki kesadaran untuk menyalurkan aspirasinya melalui mekanisme hukum yang telah disediakan oleh negara. Oleh karena itu, mari jaga persatuan, hindari provokasi, dan tetap dalam koridor hukum demi Indonesia yang lebih baik.

*Penulis merupakan pengamat militer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *