Oleh : Denov Afrisal )*
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tengah menjadi sorotan publik. Di tengah berbagai kekhawatiran akan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi, langkah pemerintah dan DPR mengadakan audiensi terbuka dengan kelompok masyarakat menjadi angin segar bagi demokrasi. Kegiatan audiensi ini merupakan bukti konkret bahwa pembahasan RKUHAP tidak dilakukan secara tertutup atau terburu-buru, melainkan terbuka terhadap masukan dan kritik dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan komunitas terdampak.
Audiensi yang digelar di sejumlah daerah dan pusat ini menjadi ruang strategis untuk membahas secara mendalam berbagai pasal krusial dalam RKUHAP. Beberapa isu yang banyak disoroti publik, seperti kewenangan penangkapan tanpa surat, penggunaan teknologi dalam penyadapan, dan peran jaksa serta hakim dalam proses pra-peradilan, mendapat perhatian serius dalam forum-forum tersebut. Diskusi terbuka semacam ini menandakan bahwa proses penyusunan regulasi tidak semata dari atas ke bawah, melainkan dijalankan melalui dialog dua arah antara pembentuk kebijakan dan masyarakat.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan RUU KUHAP tidak akan menambah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sebaliknya, substansi dalam RUU tersebut justru bertujuan untuk memperkuat prinsip kontrol dan akuntabilitas dengan mengurangi beberapa kewenangan yang selama ini dinilai terlalu luas. Hal ini dilakukan agar proses penegakan hukum semakin seimbang antara kepentingan penegak hukum dan perlindungan hak asasi tersangka maupun korban.
Pihak penyusun RUU KUHAP juga memastikan bahwa proses pembahasan berlangsung secara transparan dan terbuka bagi publik. Masyarakat dipersilakan untuk memantau langsung jalannya pembahasan di DPR, bahkan jika perlu menginap di gedung parlemen untuk memastikan bahwa proses legislasi berjalan jujur dan akuntabel. Komitmen terhadap keterbukaan ini menjadi bukti bahwa RUU KUHAP disusun tidak secara sepihak, melainkan dengan memperhatikan prinsip partisipasi dan pengawasan publik.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto menjelaskan RUU KUHAP dirancang untuk menghadirkan keadilan dan kepastian hukum yang lebih kuat, khususnya bagi masyarakat yang berhadapan langsung dengan proses hukum. Dengan pembaruan aturan dalam hukum acara pidana, RUU ini diharapkan mampu memberikan perlindungan yang lebih proporsional terhadap hak-hak tersangka, korban, dan pihak lain yang terlibat dalam perkara pidana. Penyusunan regulasi ini juga menjadi upaya untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana agar lebih modern, transparan, dan berorientasi pada prinsip keadilan restoratif.
Sebagai bentuk keseriusan dalam pembahasan, Komisi III DPR RI kini telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP. Langkah ini dilakukan setelah Komisi III secara resmi menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP dari pihak pemerintah. Panja tersebut akan menjadi wadah pembahasan teknis dan substansial terhadap setiap pasal dalam RUU, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa aturan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan hukum nasional serta aspirasi masyarakat luas.
Pakar Hukum Universitas Tarumanagara (UNTAR), Firmansyah menjelaskan transparansi dalam pembahasan RKUHAP menjadi jembatan penting untuk membangun legitimasi hukum di mata masyarakat. Pemerintah dan DPR perlu memahami bahwa hukum yang disusun tanpa keterlibatan masyarakat berisiko kehilangan legitimasi sosial dan potensial menimbulkan resistensi di lapangan. Oleh karena itu, audiensi menjadi sarana untuk menyelaraskan naskah akademik dan pasal-pasal dalam RKUHAP dengan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Ini sejalan dengan prinsip meaningful participation yang digaungkan dalam proses reformasi hukum di Indonesia pasca-reformasi 1998.
Langkah ini juga menjawab kritik yang sebelumnya muncul mengenai minimnya pelibatan publik dalam pembahasan undang-undang strategis. Dengan membuka ruang dialog, penyusun RKUHAP memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menyampaikan masukan, baik secara langsung dalam forum maupun melalui kanal digital. Mekanisme ini memperkuat rasa kepemilikan publik terhadap produk hukum yang akan berlaku luas dalam kehidupan masyarakat. Keterbukaan ini menjadi fondasi penting agar RKUHAP kelak tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial.
Penting untuk dipahami bahwa RKUHAP bukan sekadar dokumen hukum teknis, melainkan instrumen penting dalam perlindungan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, proses penyusunannya tidak bisa dilepaskan dari semangat konstitusionalisme dan penghormatan terhadap due process of law. Dalam konteks ini, audiensi dengan masyarakat merupakan bagian dari upaya menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat terlibat dan merasa didengarkan, maka hasil legislasi lebih besar kemungkinannya untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik.
DPR dan pemerintah telah menyampaikan komitmennya untuk menampung dan mempertimbangkan semua masukan yang diberikan dalam audiensi. Proses pengolahan masukan ini akan dituangkan dalam revisi substansi pasal-pasal yang masih dianggap bermasalah atau berpotensi multitafsir. Dengan begitu, pembentukan RKUHAP tidak hanya menjadi proses politik dan hukum semata, tetapi juga menjadi proses pembelajaran kolektif dalam membangun tatanan hukum yang lebih baik dan responsif terhadap dinamika masyarakat.
Melalui audiensi dengan kelompok masyarakat, kita belajar bahwa demokrasi tidak hanya berhenti pada pemilu atau rotasi kekuasaan. Demokrasi juga hidup dalam proses-proses dialogis seperti ini, di mana hukum dibentuk tidak dalam ruang tertutup, melainkan dalam ruang partisipatif yang terbuka. Oleh karena itu, publik perlu terus mengawal proses pembahasan RKUHAP dan memastikan bahwa transparansi dan partisipasi tetap dijaga hingga RKUHAP resmi disahkan dan diimplementasikan. Karena hanya dengan cara itulah keadilan hukum dapat benar-benar menjadi milik semua warga negara.
)* Penulis merupakan kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute
Leave a Reply