Oleh: Citra Kurnia Khudori)*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menunjukkan akselerasi nyata dengan berdirinya 17.060 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 38 provinsi. Capaian ini menandai keseriusan negara dalam memastikan akses gizi yang merata hingga ke pelosok daerah, tanpa terkecuali.
Sebaran SPPG yang kian meluas menjadi indikator bahwa kebijakan gizi tidak lagi terpusat di wilayah perkotaan. MBG kini menjelma sebagai program strategis yang menjangkau kelompok rentan dan memperkuat fondasi kualitas sumber daya manusia Indonesia sejak dini.
Jumlah capaian SPPG itu ditegaskan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan layanan MBG meningkat jauh lebih cepat dari perkiraan awal. Sebanyak 17.060 SPPG yang tersebar di seluruh Indonesia itu telah menyasar ke 49 juta penerima manfaat.
Dadan bahkan yakin pada pekan kedua Desember 2025, jumlah peneriman manfaat MBG bisa mencapai populasi Korea Selatan, yakni sebanyak 51,5 juta jiwa. Kemudian di akhir tahun ditargetkan mencapai 60 juta penerima manfaat.
Dadan menjelaskan, target awal pemerintah pada 2025 sebenarnya hanya membangun 5.000 SPPG dengan anggaran Rp71 triliun untuk melayani maksimal 17,5 juta masyarakat. Namun tingginya antusias publik mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat perluasan layanan MBG menjadi 82,9 juta penerima manfaat.
Meski target penuh kemungkinan belum tercapai tahun ini, namun BGN tetap optimistis mampu melayani minimal 60 juta penerima manfaat hingga akhir tahun 2025. Selain itu, lanjut Dadan, ia memperkirakan Pembangunan 20.000 SPPG di wilayah aglomerasi serta sekitar 300 SPPG di daerah terpencil akan rampung pada akhir Desember 2025.
Dengan percepatan ini, layanan pemenuhan gizi diharapkan semakin merata, terutama bagi kelompok rentan dan wilayah dengan akses pangan yang terbatas. Program ini menjadi bagian penting strategi pemerintah untuk memperkuat ketahanan gizi nasional dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui makanan bergizi yang mudah diakses di seluruh wilayah Indonesia.
Percepatan pembangunan SPPG juga membawa dampak langsung terhadap penguatan ekonomi lokal. Kebutuhan bahan pangan yang terus meningkat mendorong keterlibatan petani, peternak, nelayan, hingga pelaku UMKM di daerah sebagai bagian dari rantai pasok MBG. Dengan pola penyerapan bahan baku berbasis wilayah, program ini tidak hanya menjadi instrumen pemenuhan gizi, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian desa dan mengurangi ketimpangan antara daerah produsen dan konsumen. MBG secara tidak langsung menciptakan siklus ekonomi yang berkelanjutan, di mana manfaatnya tidak berhenti pada penerima makanan, tetapi juga pada masyarakat yang terlibat dalam proses penyediaannya.
Di sisi lain, perluasan skala program juga bukan hanya sebatas wacana, tetapi terlihat upaya penguatan tata kelola oleh pemerintah agar kualitas layanan tetap terjaga. Mulai dari standar keamanan pangan, distribusi logistik, hingga pengawasan penggunaan anggaran dilakukan secara ketat dan transparan.
Dalam mendukung program prioritas pemerintah tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Achmad Ru’yat mengatakan, pembentukan BGN merupakan komitmen pemerintah untuk memastikan manfaat program MBG dapat dirasakan langsung oleh Masyarakat. Program MBG menyediakan langkah konkret dalam membangun generasi sehat dan produktif di masa depan.
Achmad Ru’yat pun menjelaskan bahwa pemerataan distribusi makanan bergizi hingga ke pelosok desa harus dijaga agar seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan ibu hamil, mendapatkan manfaatnya. Program ini pun memerlukan pengawasan Bersama dari Masyarakat agar manfaatnya semakin optimal dirasakan.
Keberhasilan MBG tidak semata diukur dari angka penerima manfaat, tetapi juga dari dampaknya terhadap perbaikan status gizi nasional. Dalam jangka panjang, program ini diharapkan mampu menekan angka stunting, gizi buruk, dan berbagai penyakit akibat kekurangan nutrisi. Anak-anak yang tumbuh dengan asupan gizi yang cukup memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara optimal, baik secara fisik, kognitif, maupun sosial. Dengan demikian, MBG menjadi investasi strategis negara dalam menyiapkan generasi emas Indonesia.
Namun demikian, tantangan implementasi di lapangan tetap perlu diantisipasi secara serius. Akses geografis, keterbatasan infrastruktur, hingga perbedaan kapasitas daerah menjadi faktor yang harus dikelola dengan pendekatan yang adaptif. Pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk terus bersinergi, memastikan bahwa standar layanan setara antara wilayah perkotaan dan daerah terpencil.
Pada akhirnya, MBG bukan sekadar program bantuan pangan, melainkan fondasi kebijakan pembangunan manusia yang berkelanjutan. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, DPR, serta partisipasi aktif masyarakat, MBG berpotensi menjadi tonggak penting dalam sejarah kebijakan gizi nasional. Ketika akses terhadap makanan bergizi benar-benar merata, maka cita-cita menghadirkan keadilan sosial di bidang kesehatan bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang dirasakan hingga ke pelosok negeri.
)* Penulis merupakan Pemerhati Isu Sosial-Ekonomi







Leave a Reply