Oleh: Rizky Ridho )*
Pendidikan merupakan pilar utama dalam mewujudkan peradaban bangsa yang maju, mandiri, dan berdaya saing tinggi. Dalam menghadapi tantangan ketimpangan akses dan kualitas pendidikan, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen luar biasa melalui inisiatif Sekolah Rakyat, sebuah terobosan yang progresif, inklusif, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
Sekolah Rakyat bukan sekadar simbol atau proyek sesaat, melainkan bentuk nyata dari upaya menghadirkan keadilan sosial dan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Program ini menjadi jawaban atas kesenjangan pendidikan yang selama ini masih mengakar, sekaligus menjadi cermin keberpihakan negara kepada kelompok masyarakat termiskin dan termarjinalkan. Inisiatif ini menandai kebangkitan semangat gotong royong dalam pendidikan, dengan mengedepankan kolaborasi lintas sektor: pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, media, hingga komunitas lokal.
Sekolah Rakyat dirancang sebagai institusi pendidikan non-formal yang fleksibel, kontekstual, dan berbasis komunitas. Model ini mengakomodasi kebutuhan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang selama ini terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. Pemerintah hadir secara aktif dan konkret melalui kebijakan yang adaptif: mulai dari legalisasi lembaga, dukungan operasional, pelatihan pengajar, hingga penyusunan modul pembelajaran yang kontekstual dan relevan dengan kebutuhan lokal.
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), menegaskan bahwa Kementerian Sosial (Kemensos) akan mulai mengoperasikan Sekolah Rakyat pada tahun ajaran 2025/2026. Program ini merupakan salah satu gagasan unggulan Presiden Prabowo, dengan Kemensos sebagai penanggung jawab pelaksana utama. Rekrutmen guru dan murid akan dilakukan oleh Tim Formatur Sekolah Rakyat, yang dipimpin oleh Mohammad Nuh. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun sistem pendidikan alternatif yang berkualitas dan berkeadilan.
Gus Ipul menyampaikan bahwa kurikulum Sekolah Rakyat tengah dimatangkan bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), serta kementerian teknis lainnya. Salah satu ciri khas kurikulum ini adalah penguatan pendidikan karakter, yang ditanamkan melalui pola pendidikan 24 jam di lingkungan asrama. Peserta didik tidak hanya menerima materi akademik, tetapi juga dibekali keterampilan hidup dan budi pekerti yang kuat. Selain itu, sesuai arahan Presiden, mereka juga akan mendapatkan penguatan dalam bidang matematika, koding, serta bahasa Inggris, dengan pilihan tambahan bahasa Arab atau Mandarin.
Pemerintah telah menetapkan target ambisius: membangun 200 Sekolah Rakyat pada 2025, lengkap dengan asrama guru dan siswa, lapangan olahraga, dan fasilitas teknologi pendukung pembelajaran. Dengan konsep boarding school, siswa mendapatkan lingkungan belajar yang kondusif, intensif, dan berkelanjutan. Yang menarik, program ini tidak diskriminatif: anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, termasuk mereka dengan IQ rendah, tetap menjadi bagian dari sasaran program. Ini membuktikan keberpihakan penuh pemerintah terhadap kelompok paling rentan dalam masyarakat.
Hingga kini, tercatat sebanyak 53 kabupaten/kota telah menyatakan kesiapan untuk membuka Sekolah Rakyat. Antusiasme daerah cukup tinggi, bahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terus melakukan survei terhadap lebih dari 80 kabupaten/kota lain untuk menyiapkan lokasi. Fakta ini memperlihatkan bahwa Sekolah Rakyat mendapat sambutan positif sebagai solusi pendidikan berbasis kerakyatan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa kurikulum Sekolah Rakyat dirancang dalam model multi-entry dan multi-exit, memungkinkan siswa masuk dalam waktu berbeda tetapi tetap menjalani proses pendidikan yang terintegrasi. Ini memberikan fleksibilitas sekaligus jaminan bahwa semua anak tetap mendapatkan pendidikan yang layak dan sesuai dengan potensi mereka masing-masing.
Ketua Tim Formatur, Mohammad Nuh, menambahkan bahwa kurikulum Sekolah Rakyat akan memadukan standar nasional dengan penyesuaian terhadap kondisi siswa miskin dan daerah tertinggal. Hal ini mencerminkan semangat untuk membangun sistem pendidikan yang adaptif dan transformatif, tanpa meninggalkan standar kualitas yang ditetapkan secara nasional.
Sekolah Rakyat bukan hanya proyek pembangunan gedung atau sekadar program alternatif, melainkan sebuah gerakan nasional untuk mentransformasi wajah pendidikan Indonesia dari akar rumput. Dengan semangat kolaboratif, seluruh elemen bangsa didorong untuk mengambil peran: dari perangkat desa, organisasi keagamaan, hingga perusahaan-perusahaan besar. Kontribusi masing-masing pihak, baik dalam bentuk dana, sumber daya manusia, maupun dukungan teknis, menjadi fondasi penting untuk keberlangsungan program ini.
Dengan keberadaan Sekolah Rakyat, tidak boleh ada lagi anak Indonesia yang tertinggal karena alasan kemiskinan, lokasi geografis, atau keterbatasan intelektual. Program ini menjadikan mimpi anak-anak Indonesia untuk belajar dan meraih masa depan sebagai tanggung jawab bersama. Pemerintah membuktikan bahwa pendidikan bukan semata kewajiban administratif, tetapi panggilan moral dan wujud nyata keberpihakan sosial.
Kolaborasi lintas sektor dalam mewujudkan Sekolah Rakyat adalah bukti kuat bahwa ketika negara, masyarakat, dan dunia usaha bersatu, maka pendidikan yang adil dan merata bukan lagi angan-angan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi unggul yang akan membangun Indonesia Emas 2045.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia.
Leave a Reply