Oleh: Adnan Ramdani )*
Dalam beberapa tahun terakhir, geliat ekonomi digital di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. E-commerce, sebagai salah satu pilar utama ekonomi digital, telah menjadi ladang subur bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk bertumbuh dan menjangkau pasar yang lebih luas. Melihat fenomena ini, pemerintah mengambil langkah untuk menyesuaikan regulasi perpajakan guna memastikan bahwa sektor ini tetap sehat, adil, dan berkelanjutan. Namun demikian, pemerintah juga menegaskan bahwa pengenaan pajak terhadap aktivitas e-commerce tidak akan menjadi beban bagi UMKM. Narasi ini penting untuk ditegaskan agar para pelaku usaha tetap merasa aman, nyaman, dan optimis dalam menjalankan bisnis mereka secara digital.
Salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam menjaga keberlangsungan UMKM adalah melalui kebijakan pajak yang berprinsip pada keadilan dan proporsionalitas. Pemerintah menyadari bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional, menyumbang lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Oleh karena itu, pengaturan pajak untuk e-commerce dirancang sedemikian rupa agar tidak memberatkan pelaku usaha kecil.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iqbal Shoffan Shofwan mengatakan pemungutan pajak e-commerce kepada pedagang di lokapasar daring seperti Shopee hingga Tokopedia tidak berdampak terhadap kelangsungan bisnis UMKM. Selain itu, para pelaku UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun tidak perlu khawatir dengan adanya pajak e-commerce.
Lebih lanjut, langkah pengenaan pajak terhadap e-commerce bukan bertujuan untuk mengekang inovasi atau menurunkan daya saing pelaku usaha, melainkan untuk menciptakan ekosistem yang adil dan berdaya saing tinggi. Pajak yang diterapkan di sektor digital diharapkan mampu menciptakan level playing field antara pelaku usaha konvensional dan digital. Tanpa adanya kejelasan regulasi perpajakan di sektor e-commerce, maka potensi ketimpangan bisa terjadi, yang berujung pada ketidakadilan bagi pelaku usaha lain yang telah lebih dulu patuh terhadap kewajiban pajak.
Narasi yang menyebut bahwa pajak e-commerce akan memberatkan UMKM pun perlu diluruskan. Faktanya, pemerintah terus menggandeng berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai tata cara perpajakan digital yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami. Platform digital besar seperti marketplace juga berperan aktif sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produk dan jasa digital. Ini berarti, para pelaku UMKM tidak perlu dipusingkan dengan proses administrasi pajak yang rumit. Mereka cukup fokus pada peningkatan kualitas produk, pelayanan, dan strategi pemasaran.
Selain itu, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas dan insentif perpajakan yang bisa dimanfaatkan UMKM, seperti tarif PPh final 0,5% untuk omzet di atas Rp500 juta, pembebasan pajak bagi UMKM terdampak pandemi, hingga kemudahan pelaporan pajak secara daring. Hal-hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya menuntut kepatuhan, tetapi juga menyediakan dukungan nyata agar UMKM bisa bertumbuh sehat dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli mengatakan kebijakan ini bukanlah pajak baru, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring. Kemudian kebijakan ini dirancang agar lebih memudahkan pelaku usaha dan bukan untuk membebani. Dengan platform sebagai pemungut, UMKM tidak lagi perlu melaporkan dan menyetor pajak secara terpisah.
Perlu dipahami bahwa pajak adalah kontribusi nyata warga negara terhadap pembangunan. Dengan membayar pajak, pelaku UMKM turut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, dan berbagai program sosial lainnya. Dalam jangka panjang, sistem pajak yang adil dan inklusif akan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan kompetitif. Pajak bukanlah beban, melainkan bentuk gotong royong untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju.
Penting juga untuk melihat kebijakan ini sebagai bagian dari upaya modernisasi administrasi perpajakan. Dengan digitalisasi sistem, pemerintah semakin mampu mengintegrasikan data dan menciptakan transparansi yang lebih tinggi. Hal ini memberi manfaat tidak hanya bagi negara, tetapi juga bagi pelaku usaha, karena bisa menciptakan kepercayaan dan kepastian hukum dalam berusaha. Di masa depan, sistem perpajakan yang digital dan terintegrasi akan menjadi fondasi utama ekonomi digital Indonesia yang inklusif dan berdaya tahan.
Diharapkan para pelaku UMKM tidak merasa khawatir atau terintimidasi dengan kebijakan pajak di sektor e-commerce. Justru sebaliknya, mereka perlu melihat kebijakan ini sebagai peluang untuk naik kelas. Ketika bisnis UMKM tumbuh sehat dan tertib secara administrasi, termasuk dalam hal perpajakan, maka akses terhadap pembiayaan, investasi, dan kemitraan akan terbuka lebih luas. Inilah semangat transformasi ekonomi yang ingin dibangun pemerintah, sebuah ekosistem digital yang mendukung UMKM menjadi pemain utama, bukan hanya pengikut.
Komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa pajak e-commerce tidak membebani UMKM harus terus dikomunikasikan secara luas dan konsisten. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, platform digital, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang adil dan saling menguatkan. Mari bersama membangun masa depan ekonomi digital Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
)* Penulis adalah pengamat ekonomi
Leave a Reply