Indonesia-Satu.com

Independen Terpercaya

Warga Aceh Dukung Kolaborasi Pemerintah Pusat dan Daerah Percepat Penanganan Sawah Terdampak Banjir

Oleh: Muhammad Rizki Ananda *)

Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh tidak hanya memunculkan krisis kemanusiaan, tetapi juga menguji ketangguhan negara dalam melindungi sektor pangan rakyat. Dengan hampir 90 ribu hektare sawah terdampak, bencana ini menyentuh langsung nadi kehidupan masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidup pada pertanian. Dalam konteks inilah dukungan warga Aceh terhadap kolaborasi pemerintah pusat dan daerah memperoleh makna strategis, karena pemulihan sawah bukan sekadar agenda teknis, melainkan fondasi pemulihan ekonomi dan stabilitas sosial.

Di berbagai wilayah pedesaan Aceh, dampak banjir terasa langsung pada lumpuhnya aktivitas pertanian. Di Gampong Alue Keutapang, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, sebagian besar lahan persawahan tertimbun lumpur dengan ketebalan mencapai 50 hingga 70 sentimeter. Keuchik Alue Keutapang, Kafrawi, menjelaskan bahwa dari total 175 hektare sawah di desanya, sekitar 64 hektare mengalami kerusakan berat, sementara sebagian lainnya rusak ringan hingga gagal panen. Kondisi ini menyisakan hanya sekitar 10 hingga 11 hektare lahan yang masih memungkinkan ditanami kembali, sementara selebihnya kehilangan fungsi produksi dan terlihat seperti tanah timbunan.

Situasi yang tidak jauh berbeda juga dialami masyarakat di Gampong Babah Krueng, kecamatan yang sama. Keuchik Babah Krueng, Ismail, menyampaikan bahwa sekitar 60 hektare sawah gagal panen akibat tertimbun lumpur tepat menjelang masa panen. Kerusakan tersebut secara langsung memutus mata pencaharian warga yang mayoritas bergantung pada pertanian. Ketika sawah tidak lagi bisa diolah, dampaknya bukan hanya hilangnya hasil panen, tetapi juga terhentinya roda ekonomi desa dan meningkatnya kerentanan sosial masyarakat.

Dalam menghadapi kondisi tersebut, kehadiran pemerintah menjadi harapan utama masyarakat. Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan bergerak cepat melakukan pendataan kerusakan serta peninjauan lapangan sebagai dasar penyusunan langkah pemulihan. Kepala Distanbun Aceh, Cut Huzaimah, menyampaikan bahwa seluruh data kerusakan sawah telah diserahkan kepada Kementerian Pertanian agar penanganan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan kebijakan nasional. Pendekatan berbasis data ini mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dalam memastikan bahwa pemulihan berjalan terarah dan tepat sasaran.

Respons pemerintah pusat terhadap laporan tersebut memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa negara hadir secara nyata. Kementerian Pertanian menempatkan pemulihan sawah Aceh sebagai prioritas melalui bantuan benih bagi lahan yang masih memungkinkan ditanami serta program rehabilitasi untuk sawah yang rusak berat. Proses rehabilitasi yang diperkirakan memakan waktu hingga enam bulan dipahami sebagai langkah realistis, mengingat kerusakan yang terjadi tidak hanya pada permukaan lahan, tetapi juga pada struktur tanah dan sistem irigasi yang menopang produktivitas pertanian.

Upaya pemulihan tersebut dijalankan secara terpadu dengan melibatkan kementerian lain, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bertanggung jawab pada perbaikan infrastruktur pendukung. Kerusakan sawah hampir selalu diikuti oleh rusaknya saluran irigasi, tertutupnya aliran sungai oleh material banjir, serta terputusnya akses jalan dan jembatan. Oleh karena itu, pembukaan kembali alur sungai, normalisasi irigasi, dan pemulihan konektivitas wilayah menjadi bagian penting agar rehabilitasi sawah dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

Komitmen pemerintah pusat semakin diperkuat melalui pertemuan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah pusat menegaskan dukungan penuh terhadap pemulihan sektor pertanian Aceh, baik melalui penyaluran bantuan pangan, penyediaan alat dan mesin pertanian, maupun pendampingan teknis bagi petani. Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran puluhan miliar rupiah untuk mendukung pemulihan di wilayah terdampak, dengan porsi terbesar dialokasikan untuk Aceh sebagai daerah dengan dampak paling signifikan.

Langkah ini penting karena pemulihan sawah tidak dapat dipisahkan dari perlindungan kehidupan petani selama masa transisi. Ketika satu musim tanam terlewat, petani menghadapi jeda pendapatan yang panjang, sementara kebutuhan hidup keluarga tetap berjalan. Melalui bantuan pangan, dukungan sarana produksi, serta rehabilitasi lahan yang terjadwal, pemerintah berupaya mencegah tekanan ekonomi berkepanjangan yang berpotensi melahirkan kemiskinan baru di pedesaan.

Dukungan warga Aceh terhadap kebijakan pemerintah mencerminkan kesadaran bahwa pemulihan sawah memiliki dampak luas bagi daerah dan nasional. Aceh merupakan salah satu wilayah produsen padi penting, sehingga terganggunya produksi berpotensi memengaruhi stabilitas pasokan dan harga pangan. Ketika pemerintah bergerak cepat, terkoordinasi, dan mendapat dukungan masyarakat, risiko tersebut dapat ditekan sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap kemampuan negara mengelola krisis.

Dukungan masyarakat Aceh terhadap kolaborasi pemerintah pusat dan daerah bukanlah sikap pasif, melainkan bentuk partisipasi sosial dalam agenda pemulihan nasional. Ketika suara petani di tingkat gampong terhubung dengan kebijakan di tingkat pusat, pemulihan sawah tidak hanya akan menghidupkan kembali lahan pertanian, tetapi juga memulihkan martabat dan harapan masyarakat desa. Dari proses inilah ketahanan pangan dibangun, bukan sekadar sebagai target produksi, melainkan sebagai wujud nyata kehadiran negara yang bekerja bersama rakyatnya.

*) Pemerhati Kebijakan Publik dan Pembangunan Daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *