Jakarta, Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menilai bahwa kebijakan stimulus ekonomi yang diusung oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi pendorong utama aktivitas konsumsi, investasi, dan produksi, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah maupun kelas atas. Sejumlah tantangan dan peluang pun turut menjadi sorotan.
Dalam dialog di salah satu radio swasta di jakarta, Fithra Faisal menerangkan, meskipun ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh di atas 5% sepanjang 2025, angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir, yaitu 5,07%. Pada Kuartal I hingga Kuartal III 2024, pertumbuhan ekonomi berturut-turut tercatat sebesar 5,11%, 5,05%, dan 4,9%.
“Yang menjadi tantangan adalah konsumsi domestik yang tidak pernah berhasil melampaui pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan perlunya langkah-langkah lebih strategis untuk mendorong daya beli masyarakat,” ujarnya.
Inflasi sepanjang tahun 2024 tercatat mencapai 1,57%, terendah sejak 1958. Namun, inflasi rendah ini juga mengindikasikan melambatnya permintaan domestik.
“Kelas menengah merupakan penghela utama ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan stimulus yang mampu mengatasi tantangan struktural ini,” tambahnya.
Salah satu kebijakan Presiden yang dianggap mendukung pemulihan ekonomi adalah tidak menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara luas. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, PPN semestinya naik 1% pada 2025. Namun, kebijakan ini hanya berlaku untuk kelompok kaya, sementara kelompok lainnya diimbangi dengan paket stimulus ekonomi sebesar Rp265 triliun.
Fithra Faisal juga mencatat bahwa spending belanja pemerintah untuk konsumsi mencapai Rp867 hingga Rp900 triliun, dengan fokus pada kelompok menengah bawah, seperti melalui program bantuan sosial (bansos) dan subsidi kebutuhan pokok. Stimulus untuk sektor produksi, termasuk program padat karya, juga diharapkan mampu mendorong produktivitas dan memperbaiki Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sempat terkontraksi selama lima bulan berturut-turut akibat tingginya ongkos produksi.
Fithra Faisal memperkirakan, jika stimulus dapat digunakan secara efektif dan tepat sasaran, ada potensi tambahan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5% hingga 1%. Namun, ia juga mengingatkan bahwa iklim ekonomi global yang dinamis dapat menjadi tantangan signifikan bagi target pertumbuhan pemerintah.
Kebijakan refocusing anggaran dan penghematan belanja dinilai menjadi kunci untuk mencegah pembengkakan defisit. “Penggunaan anggaran harus lebih selektif, dan pemerintah perlu mengalokasikan belanja pada program-program yang memberikan dampak langsung bagi pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Skenario kenaikan PPN dari 11% ke 12%, meskipun telah dipersempit hanya untuk barang mewah melalui Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tetap perlu diawasi dampaknya. Namun, langkah ini dinilai tidak akan signifikan bagi kelompok masyarakat non-atas.
Fithra Faisal menutup dengan menekankan pentingnya reformasi struktural dan manajemen fiskal yang efisien untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Stimulus yang tepat diharapkan tidak hanya mampu memitigasi perlambatan, tetapi juga membuka jalan menuju perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
==
Leave a Reply