Oleh: Yusuf Rinaldi)*
Memasuki penghujung 2025, kebijakan hilirisasi mineral Indonesia telah melampaui batas perdebatan ekonomi domestik. Di tengah fragmentasi rantai pasok global, meningkatnya tensi geopolitik, serta percepatan transisi energi, mineral kritis bukan lagi sekadar komoditas, melainkan penentu posisi tawar dan reputasi sebuah negara. Dalam konteks ini, hilirisasi mineral Indonesia tampil sebagai sinyal strategis yang dibaca dunia, bukan hanya sebagai kebijakan internal, tetapi sebagai pernyataan arah ekonomi-politik jangka panjang.
Direktur Corporate & Public Affairs firma konsultan komunikasi FleishmanHillard, Muhammad Zulkifli, menegaskan bahwa dunia kini memandang mineral kritis seperti nikel, tembaga, dan bauksit sebagai aset geopolitik. Setiap keputusan Indonesia mulai dari larangan ekspor bijih mentah hingga kewajiban pengolahan di dalam negeri dibaca sebagai sinyal strategis oleh mitra global. Di sinilah hilirisasi bertransformasi dari isu nilai tambah menjadi isu reputasi negara: apakah Indonesia menawarkan kepastian, konsistensi, dan peluang kolaborasi jangka panjang, atau justru menimbulkan persepsi ketidakpastian.
Pandangan ini relevan dengan dinamika global terkini. Kepala Eksekutif International Energy Agency, Fatih Birol, mengingatkan bahwa mineral kritis tidak hanya menopang teknologi energi bersih seperti kendaraan listrik atau panel surya, tetapi juga industri manufaktur, semikonduktor, pertahanan, dan teknologi mutakhir lain. Ketergantungan global terhadap mineral kritis semakin dalam, sementara kapasitas pengolahan dan pemurnian masih terkonsentrasi pada segelintir negara. Kondisi ini menempatkan negara penghasil bahan mentah pada posisi pasif jika tidak berani naik kelas dalam rantai nilai.
Indonesia memilih jalan yang berbeda. Dengan cadangan nikel sekitar 42 persen dari total global, serta posisi penting dalam tembaga dan bauksit, Indonesia menyadari bahwa keunggulan komparatif harus diubah menjadi keunggulan kompetitif. Senior Energy Economist Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Han Phoumin, menyebut mineral kritis sebagai “minyak baru” abad ke-21. Melalui hilirisasi, Indonesia berupaya keluar dari jebakan pemasok bahan mentah dan membangun kemakmuran berkelanjutan berbasis industri.
Data menunjukkan arah tersebut bukan sekadar retorika. Sejak 2019, pemerintah telah membangun lebih dari 30 smelter dan menarik investasi asing langsung lebih dari US$30 miliar. Kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menjadi simbol terbentuknya ekosistem manufaktur baterai terintegrasi, dari tambang hingga perakitan. Di sinilah reputasi global Indonesia mulai dibentuk: sebagai negara yang berani mengamankan kepentingan strategisnya sekaligus membuka ruang kolaborasi industri bernilai tinggi.
Peran MIND ID sebagai Holding Industri Pertambangan Indonesia memperkuat narasi tersebut. Melalui sinergi Antam, Inalum, PT Vale Indonesia, hingga PT Freeport Indonesia, MIND ID tampil sebagai ujung tombak negara dalam mengonsolidasikan hilirisasi mineral strategis. Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Watch (IMEW), Ferdy Hasiman, menilai penguasaan proyek-proyek hilirisasi oleh MIND ID sebagai tonggak penting masuknya BUMN tambang ke ekosistem energi bersih global. Proyek smelter nikel di Halmahera Timur, pengembangan bauksit terintegrasi, hingga manufaktur baterai di Karawang menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi sekadar price taker, melainkan mulai membentuk standar dan arah pasar.
Namun, reputasi global tidak hanya dibangun dari skala investasi dan kapasitas industri. Tantangan ESG, yakni lingkungan, sosial, dan tata Kelola menjadi sorotan utama komunitas internasional. Isu konflik lahan, pertambangan ilegal, dan jejak karbon smelter berbasis energi fosil berpotensi mereduksi pesan positif hilirisasi. Dalam ekosistem informasi global yang serba cepat, satu insiden lokal dapat membesar menjadi simbol persoalan struktural. Karena itu, konsistensi kebijakan, penegakan hukum, serta praktik keberlanjutan menjadi fondasi reputasi yang tidak bisa ditawar.
Di sinilah pemerintah memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi kebijakan dan narasi. Melalui Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, pemerintah terus mendorong hilirisasi sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional. Penyelenggaraan “Ekspos Proposal Bisnis Hilirisasi Investasi Strategis 2025” menegaskan keseriusan negara menghadirkan proyek yang terukur, bankable, dan siap dieksekusi. Target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada 2029 mensyaratkan hilirisasi sebagai tulang punggung, didukung insentif fiskal, pengembangan kawasan ekonomi khusus, serta penetapan proyek strategis nasional.
Lebih penting lagi, pemerintah mulai membingkai hilirisasi sebagai agenda kolaborasi global. Proposal bisnis disusun komprehensif mencakup aspek pasar, teknologi, pembiayaan, hukum, hingga ESG dengan melibatkan konsultan internasional dan pelaku industri. Pendekatan ini menjawab kritik lama soal komunikasi yang fragmentaris dan reaktif. Tantangan Indonesia bukan pada substansi kebijakan, melainkan pada cara kebijakan itu dikomunikasikan. Negara-negara maju agresif membingkai industrial policy mereka sebagai bagian dari keamanan nasional dan stabilitas jangka panjang; Indonesia kini bergerak ke arah serupa, dengan bahasa kepastian dan peluang bersama.
Ke depan, reputasi global Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan mengintegrasikan kebijakan, komunikasi, dan diplomasi ekonomi. Hilirisasi mineral harus dipahami dunia sebagai ajakan kolaborasi jangka panjang untuk membangun rantai pasok yang tangguh, berkelanjutan, dan adil. Pertanyaannya bukan lagi apakah hilirisasi benar atau salah, melainkan apakah Indonesia mampu mengelola persepsi globalnya dengan cerdas dan konsisten. Dalam konteks inilah, hilirisasi mineral tak lagi sekadar isu ekonomi domestik, tetapi cermin bagaimana Indonesia ingin dilihat dan dipercaya oleh dunia.
)*Penulis Merupakan Pengamat Ekonomi












Leave a Reply