Oleh : Septian Nova )*
Polemik mengenai penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto telah memantik perdebatan di ruang publik, baik di media arus utama maupun di media sosial. Ada kelompok yang melihat Soeharto sebagai sosok yang berperan besar dalam pembangunan infrastruktur, stabilitas politik, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama puluhan tahun. Di sisi lain, ada kelompok yang menolak keras, dengan alasan masih adanya luka sejarah terkait pelanggaran HAM, otoritarianisme, dan represi politik di masa pemerintahannya. Di tengah perbedaan tajam ini, pemerintah mendorong masyarakat untuk bersikap bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang menjurus pada perpecahan, ujaran kebencian, atau pengaburan fakta sejarah.
Sikap bijak yang dimaksud bukan berarti masyarakat dilarang berbeda pendapat atau diwajibkan menyetujui kebijakan pemerintah. Perbedaan pandangan adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi, terlebih menyangkut tokoh dengan rekam jejak sejarah yang sangat kompleks. Namun, pemerintah menekankan pentingnya etika berdialog yaitu, menyampaikan kritik dengan data dan argumen, bukan dengan caci maki; mengedepankan diskusi substantif, bukan serangan terhadap identitas kelompok tertentu; serta menghindari generalisasi yang bisa menyulut konflik horizontal. Dengan cara ini, ruang publik tetap hidup dan kritis, tetapi tidak berubah menjadi arena saling menjatuhkan.
Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tjahja Fadli Zon menjelaskan penganugerahan gelar ini merupakan pengakuan negara atas jasa besar Soeharto yang memberikan dampak luas bagi pembangunan nasional. Pemerintah menjelaskan bahwa proses penetapan telah dilakukan secara objektif, memperhatikan rekam jejak pengabdian, serta kontribusi nyata yang diwariskan bagi rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas pemberian gelar kehormatan negara.
Dalam konteks ini, pemerintah juga mengingatkan adanya pihak-pihak yang berpotensi menunggangi isu penolakan gelar pahlawan Soeharto untuk kepentingan politik jangka pendek. Narasi yang sengaja dibuat ekstrem seolah-olah hanya ada dua kubu yang saling bermusuhan yang berpotensi digunakan sebagai bahan adu domba antar kelompok masyarakat. Konten provokatif di media sosial, potongan video yang lepas dari konteks, hingga slogan-slogan yang dibalut sentimen kebencian dapat memicu emosi tanpa memberi ruang pada penjelasan rasional. Karena itu, pemerintah mendorong publik untuk selalu memeriksa sumber informasi, membandingkan berbagai sudut pandang, dan tidak langsung menyebarkan konten yang belum jelas kebenarannya.
Ketua DPRD Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Achmad Riduan Syah mengatakan upaya meredam provokasi juga dilakukan melalui ajakan untuk melihat Soeharto dan masa pemerintahannya dengan kacamata sejarah yang utuh, bukan sekadar hitam-putih. Pemerintah mendorong diskusi yang mengakui adanya capaian pembangunan dan stabilitas ekonomi, namun di saat yang sama tidak menutup mata terhadap catatan-catatan kelam yang masih menjadi perdebatan hingga kini. Pendekatan seimbang seperti ini diharapkan dapat mencegah polarisasi berlebihan, di mana satu pihak hanya melihat sisi positif, sementara pihak lain hanya menonjolkan sisi negatif. Dengan memandang sejarah secara komprehensif, masyarakat dapat mengambil pelajaran, bukan sekadar mewarisi dendam.
Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya menjelaskan pemerintah perlu mengajak tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi sipil untuk terlibat aktif dalam memberikan pencerahan kepada publik. Suara-suara yang sejuk dan reflektif sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak terjebak pada narasi ekstrem. Diskusi publik, seminar, kajian, dan tulisan-tulisan edukatif dapat menjadi sarana untuk menjelaskan konteks sejarah, mekanisme pemberian gelar pahlawan, serta ruang bagi korban atau keluarga korban untuk menyampaikan pandangan. Dengan demikian, proses penyikapan terhadap isu ini tidak sekadar emosional, melainkan juga intelektual dan, yang tak kalah penting, berempati.
Pemerintah juga menegaskan bahwa sikap bijak bukan berarti mematikan kritik atau membungkam suara korban. Justru, pemerintah mendorong agar pengalaman korban dan keluarganya dihormati dan tidak diremehkan. Masyarakat diajak untuk tidak mengolok-olok penderitaan yang pernah terjadi, serta menghindari narasi yang menghapus pengalaman pahit tersebut. Di saat yang sama, pemerintah berharap agar penolakan atau dukungan terhadap gelar pahlawan tidak digunakan untuk menstigma kelompok tertentu sebagai “musuh negara” atau “pengkhianat bangsa”. Dengan saling menghormati luka dan pandangan yang berbeda, bangsa ini bisa bergerak maju tanpa memutus ingatan sejarah.
Di level individu, setiap warga diimbau untuk melakukan “filter” sebelum berbicara dan “cek fakta” sebelum membagikan informasi. Kebiasaan sederhana seperti membaca sampai tuntas sebelum mengomentari, mengecek tanggal berita, melihat siapa penerbitnya, dan membandingkannya dengan sumber lain dapat mencegah kita ikut memperkuat provokasi. Dalam era banjir informasi seperti sekarang, sikap kritis bukan lagi sekadar kelebihan, melainkan kebutuhan dasar agar masyarakat tidak mudah diarahkan oleh opini yang menyesatkan. Literasi digital menjadi salah satu kunci agar perdebatan soal tokoh sejarah, termasuk Soeharto, tetap berada pada jalur yang sehat.
Pada akhirnya, perbedaan pandangan terkait gelar pahlawan Soeharto seharusnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk bercermin, bukan saling menyerang. Pemerintah mengajak masyarakat menjadikan perdebatan ini sebagai ruang pembelajaran bersama: belajar membaca sejarah secara jernih, belajar menghargai korban, belajar mengkritik tanpa membenci, dan belajar mendukung tanpa memuja secara buta. Dengan sikap yang lebih dewasa, bijak, dan mengedepankan persatuan, provokasi yang mencoba memecah belah dapat diredam, sementara demokrasi tetap tumbuh melalui dialog yang terbuka, kritis, dan beradab.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan


Leave a Reply