Oleh : Adi Kurniawan )*
Perjudian daring atau judi online bukan sekadar masalah hukum, tetapi telah menjadi ancaman serius terhadap ketahanan keluarga, mental anak muda, dan stabilitas ekonomi masyarakat kecil. Pemerintah telah mengambil langkah tegas melalui kebijakan pemutusan akses dan pelacakan transaksi, namun upaya ini harus diperkuat dengan kesadaran publik. Apresiasi pantas diberikan kepada semua pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para psikiater, yang ikut mengedukasi bahaya laten judi daring bagi masa depan bangsa.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Zainut Tauhid Sa’adi, menyampaikan keprihatinannya atas temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menunjukkan bahwa ratusan ribu penerima bantuan sosial ternyata juga terlibat dalam judi daring. Dari sekitar 28,4 juta NIK penerima bansos, sebanyak 571.410 di antaranya tercatat sebagai pemain judi daring. Temuan ini bukan hanya mencoreng martabat sosial, tapi juga menunjukkan betapa judi telah mengakar hingga ke lapisan masyarakat yang semestinya paling dilindungi.
Judi dalam pandangan agama merupakan dosa besar. Dalam Islam, jelas disebut dalam Al-Qur’an bahwa judi adalah bentuk transaksi gharar, yakni penuh ketidakpastian dan mengandung potensi kerusakan. Zainut menegaskan bahwa judi bisa memicu permusuhan, kemarahan, bahkan sampai tindakan kekerasan. Lebih dari itu, judi juga membuat seseorang menjadi pemalas, boros, dan merusak keharmonisan rumah tangga.
Secara psikologis, bahaya judi daring tak kalah menakutkan. Psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, menjelaskan bahwa sebagian besar kecanduan judi daring berakar dari trauma masa lalu. Mereka mencari kesenangan instan dengan intensitas tinggi sebagai kompensasi atas luka batin yang tak pernah sembuh. Sayangnya, sensasi menang atau hampir menang justru memperkuat lingkaran adiktif dalam otak. Inilah mengapa, menurut Jiemi, kecanduan judi sangat mirip dengan kecanduan narkoba.
Secara neurologis, ketika seseorang berjudi, otak mereka melepaskan dopamin dalam jumlah besar, zat kimia yang menimbulkan rasa senang dan puas. Sensasi ini mendorong individu untuk terus mengulangi perilaku berjudi meski tahu itu merugikan. Dalam jangka panjang, sistem pengendali impuls dan pengambilan keputusan di otak akan melemah. Akibatnya, meskipun sadar akan risikonya, para penjudi tetap tak mampu menghentikan kebiasaannya.
Masalah bertambah rumit karena judi daring kini menjangkau generasi muda. Berdasarkan survei PPATK, sekitar 13 persen pelaku judi daring adalah anak-anak dan pelajar di bawah usia 20 tahun. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena usia muda adalah masa pembentukan karakter. Jika sejak dini mereka sudah terpapar judi daring, masa depan bangsa bisa terancam. Lebih menyedihkan lagi, banyak dari mereka berjudi dengan uang kebutuhan pokok bahkan dana pendidikan.
MUI pun menegaskan pentingnya pendekatan holistik dalam memberantas judi daring. Tak cukup hanya memblokir situs atau menangkap pelaku, namun harus melibatkan penegakan hukum hingga ke akar-akarnya mulai dari bandar, pemilik situs, pemodal, hingga kurir dan bekingnya. Langkah MUI mendukung pemutusan bantuan sosial bagi pelaku judi daring juga patut diapresiasi. Negara tidak boleh mentolerir penyalahgunaan dana rakyat untuk aktivitas yang merusak sendi-sendi moral bangsa.
Langkah pemerintah pun tak bisa dibilang ringan. Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital menyebutkan bahwa potensi kerugian negara akibat judi daring bisa mencapai Rp1.000 triliun pada akhir 2025 jika tidak segera dihentikan. Jumlah ini setara dengan anggaran pembangunan berbagai sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Upaya dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kemenkomdigi hingga kepolisian memang terus dilakukan untuk menutup akses situs ilegal. Namun, masyarakat juga harus ikut aktif melawan. Di sinilah pentingnya edukasi publik. Pemerintah harus menggencarkan kampanye bahaya judi daring di sekolah, kampus, media sosial, dan komunitas-komunitas lokal. Sama seperti kampanye bahaya narkoba, perang melawan judi daring harus bersifat total.
Yang tak kalah penting, para orang tua perlu meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan gawai oleh anak-anak. Judi daring sering menyusup lewat aplikasi, iklan, hingga game online. Jika tidak ada pengawasan ketat dari rumah, maka generasi muda kita akan terus menjadi target empuk para bandar judi digital. Pendidikan karakter dan literasi digital menjadi kunci utama dalam membendung derasnya arus perjudian online di era digital ini.
Judi daring bukan hanya soal uang yang hilang atau utang yang menumpuk. Ia merusak tatanan sosial, menghancurkan keluarga, dan menjerumuskan bangsa ke dalam krisis moral. Masyarakat perlu sadar bahwa tak ada keuntungan sejati dalam berjudi. Sekali menang, sepuluh kali kalah. Yang tersisa hanyalah penyesalan, kehancuran finansial, dan keretakan keluarga.
Kini saatnya kita berkata cukup. Jangan biarkan judi daring menguasai ruang hidup kita. Mari hentikan normalisasi perjudian sebagai hiburan dan sadari bahwa ini adalah bentuk kejahatan digital yang terorganisir. Perang melawan judi daring harus menjadi gerakan bersama dari pemerintah, tokoh agama, tenaga medis, akademisi, hingga masyarakat sipil. Demi masa depan anak-anak kita, demi moral bangsa, hindarilah judi daring sebelum semuanya terlambat.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute
[edRW]
Leave a Reply